Pernah merasakan dirimu di penuhi cerita yang sangat ingin menumpahkan diri dalam tulisan tapi kata-kata yang kau miliki seperti tak cukup untuk menampungnya? Aku merasakannya saat ini, seperti orgasme yang penasaran sampai ke ujung kaki, membuatmu tak dapat bergerak hanya mematung dan menatap layar putih yang masih kosong kebosanan. Sepertinya puncak kerumitan adalah kekosongan, mirip ajaran Budha (terinspirasi dari Gurunya Sun Gokong)..kosong itu berisi, dan berisi itu kosong. Heeee,tambah bingung yah?
Seorang temanku menikah hari ini, beberapa akan menikah bulan depan, dan yang lain menikah tahun depan. Aku, sampai hari ini masih harus menghadapi telpon dari Mama tersayang yang tak pernah sepi dari usaha perjodohan.
Heee, kadang ingin kesal bila semua orang bertanya "Jadi, kapan nikahnya, tuh liat...dia aja dah nikah!"...Ngooookkk, jadi maksudnya karena dia dan dia, juga dia menikah, Aku harus ikut menikah? Kalau "suami" seperti milih jeruk di pasar, cari yang kulit dan warnanya bagus, bawa pulang sekilo, kelupas dan cicipi, jika manis pasang wajah senang, jika tidak langsung di buang ke tempat sampah, mungkin Aku sudah menikah berpuluh-puluh kali, bersamaan dengan musim Jeruk.
Ku pikir belum jodohnya mungkin, toh Aku tak punya jawaban lain. Salah siapa jika Aku belum jatuh cinta, atau jatuh cinta tapi waktunya tak tepat, atau jatuh cinta tapi orangnya tak tepat. Aku kan tak harus meraung kesetanan, menghujani Tuhan dengan air mata, menuduh ketidakadilan tanpa bukti. (hakhahaha...ni pake emosi nih nulisnya).
Aku mempercayai takdir bergerak dalam kuasa Tuhan dan pilihan manusia. Aku harus memikirkannya dengan baik, mendengarkan suara hati untuk memilih wajah siapa yang akan kulihat tiap terbangun di pagi hari nantinya, berharap bimbingan Tuhan menuntun seluruh diriku untuk memilih. Aku membutuhkan kesadaran itu agar bisa menghadapi hal terburuk yang mungkin terjadi, bukannya nanti malah terpuruk dan menyalahkan takdir, atau berputus asa dengan kedok pasrah menerima takdir tetapi dalam hati mengutuk.
Menikah...memikirkan tanggung jawabnya saja membuat mau gila, merinding sampai menggelinding memeluk dinding. Itu bukan hanya urusan 'ngangkang' trus bunting dan punya anak. Kita berurusan dengan tanggung jawab sebagai hamba, kata teman baikku untuk "meneruskan kekhalifaan"...dengan kata lain, kita harus memiliki kapasitas untuk menanamkan nilai-nilai yang benar pada anak-anak yang akan dititipkan Tuhan. Tidak mungkin kita memilih dengan buta, langsung mengangguk pada tiap rasa yang menggedor-gedor hati. Bayangkan saja di depan Tuhan nanti, kita di lempar dengan ringannya ke dasar Neraka karena dianggap gagal menjadi orang tua. (Agak berlebihan mungkin penggambarannya).
Lagipula, kita juga harus memiliki keikhlasan yang luas untuk mentoleransi segala hal nantinya,agar hubungan yang ada tetap terjaga dengan utuh, dan itu hanya dapat terjadi jika kita "Jatuh Cinta"...maksudku harus ada kesadaran yang tinggi untuk mencintai, biar maaf selalu hadir untuk tiap kesalahan.
Heee, kata temanku, Aku agak berlebihan. Mungkin juga sih, tapi...Tuhan menghukumi kesadaran kita bukan? Kesalahannya bisa lebih berat jika kita berpura-pura tak memikirkannya, atau tidak mencari tahu padahal memiliki potensi untuk mengetahui. (Aku mulai rumit nih...hehehe)
Intinyaaa...untuk kita yang belum menikah, jangan terjebak pada keinginan publik. Toh hidup adalah milik kita sendiri, menjalaninya adalah pilihan kita dan yang merasakannya juga kita sendiri. Make ur right decision and through it with all happiness that u can reach.
*Mom, Aku sedang berjalan ke sana koq, don't worry too much ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar