2012/09/30

"...Just move!!"

Aku tak pernah lupa cara dia mengusap kepalaku, mengacak rambutku yang berantakan. Biasanya Aku akan merengut kecut tapi jika lihai, orang dapat melihat tarikan halus di ujung bibirku yang menyembunyikan bahagia. Dia selalu menyerap semua kata yang kumiliki, hingga berhadapan dengannya Aku menjelma gagu dan hanya bisa menatap, padahal Aku bisa bercerita sepanjang hari, dengan tubuh yang ikut bergerak seiring ocehanku yang tak henti. 

Kalian tahu, Aku selalu ingin terlihat sempurna dari ketidaksempurnaan yang kuperlihatkan padanya. Meyakinkan diri jika rasaku yang meluap adalah imbas dari rasanya yang memelukku tiap saat. Kami saling menyukai, bahkan penjual gorengan di ujung lapangan kampus pun dapat melihat binar dalam tatapan kami. Dulu.

Saat ini, seketika Aku kembali gagu, saat seseorang  mengusap dan mengacak rambutku. Ingatan tentangnya menarikku paksa ke masa lalu, hadirkan rasa yang absurd tapi tak dapat kuhindari. Kami tak lagi berjalan seiring, sejak lama. Saat Aku seolah meninggalkannya, dan dia meninggalkanku pasti. Yupp, dia benar-benar pergi, memutuskan menikah, tak berbalik untuk melihatku tetap berdiri di tempat ini. Aku selalu merasa berlari, setidaknya mencoba berpaling, tapi saat melihat sekeliling ternyata Aku tak juga bergerak. Rasa ini tak mengasihaniku. Aku sangat ingin beranjak, sungguh. Tidakkah Aku seperti hantu gentayangan yang beterbangan antara langit dan bumi? 

Harusnya Aku berusaha kembali, meminjam raga untuk menuntaskan yang tersisa. Mungkin benar jika mencarinya, menyelesaikan kisah kami, merangkai kata penutup dan ucapan terima kasih yang melegakan. Sebuah pengakuan, jawaban, pengesahan untuk cinta yang kuyakini untukku. Bahkan jika dia mengatakan tak mencintaiku, setidaknya tak ada lagi tanya, sisa-sisa harapan itu dapat menguap sempurna, dan Aku dapat membangun mimpi yang baru.
Kalian...berdoalah untukku!! 


*terinspirasi dari kisah seorang teman. Don't u think, u have to move on???!!! (pukul jidat)

2012/09/28

"We and Our Patients"

Dua hari ini terjebak dalam adiksi "drama korea", tidur larut dan bangun telat, hanya terinterupsi dengan shalat dan makan. Aku sama sekali tidak menyentuh bahan-bahan kuliah padahal dikejar deadline 'referat' dan jurnal. Haaaa..merasa bersalah tapi tak sanggup menolak. Hehehehe
Drama itu , "Time Slip dr. Jin" bercerita tentang seoang dokter bedah saraf yang entah mengapa tergelincir ke masa lalu. 
*lupa sumbernya, silahkan di klaim

Menarik, karena dokter itu malah bertemu  berbagai kasus yang membuatnya harus melakukan tindakan medis dengan peralatan purba, selain itu menemukan berbagai obat yang dalam sejarah belum ada pada masa itu. Krisis psikologi banyak terjadi dalam hal etika dokter dan pasien, apakah harus menyelamatkan pasien yang kemungkinan bertahan hidupnya kecil, atau menyelamatkan pasien yang sudah jelas akan menyebabkan kerusakan besar di masa depan. Berbagai hal dalam drama tersebut mengingatkan pada pasien-pasien yang Aku rawat di bangsal kemarin. 

Satu diantaranya yang selalu membuat kesedihan tak lepas saat mengingatnya adalah seorang anak perempuan, 14 tahun, dengan diagnosis TB Milier. Aku mencoba menanganinya seperti yang seharusnya, memberikannya obat Anti Tuberkulosis, yang terpaksa harus dititrasi karena fungsi hatinya ikut terganggu. Akibatnya, kuman TB yang sudah mengalir dalam darahnya hanya tergelitik, bukannya mati karena dosis obat tidak cukup untuk membunuh mereka. Kondisinya semakin parah, sesak yang terus bertambah, disertai emfisema subkutis di bagian leher. Berdiri di samping tempat tidurnya, memegang tangannya dan tersenyum, jadi salah satu ritual yang kulakukan tiap mengunjunginya, berharap obat yang kuberikan setidaknya mengurangi penderitaannya, berharap Tuhan menolongnya, memberikan lebih banyak kekuatan pada tubuhnya untuk melawan kuman-kuman TB itu. Percaya padaku, hal yang paling menyiksa adalah melihat mereka menderita dan tak bisa melakukan apapun, saat semua usaha sudah dilakukan, dan penuh harap Tuhan menyelesaikannya dengan baik.

Aku berjanji padanya akan membelikannya makanan yang paling dia inginkan, apapun itu jika dia sembuh nanti. Biasanya dia tersenyum dan berusaha tertawa diantara semua kesakitannya, demam yang tak juga turun, sesak yang tak membaik. (menulis ini saja membuat air mata menggenang hee)
Sehari sebelum dia meninggal, Aku menemaninya dalam kamar operasi karena  emfisemanya meluas sampai ke mediastinum sehingga kemungkinan menekan jantung dan mengganggu ritme jantung, menyebabkan takikardi. Awalnya, dia merengek karena ingin Ibunya masuk dan menemani, tapi saat kukatakan ada Aku yang akan menjaganya, dia akhirnya bersedia. Dia sempat bertanya padaku sebelum dilakukan mediastinostomi (operasi kecil oleh Bedah Toraks untuk mengeluarkan udara di mediastinum), apakah setelah ini dia akan membaik, mengingatkanku untuk tidak melupakan janji padanya saat dia sembuh nanti. Aku hanya mengangguk, merangkul bahunya dan berdoa dalam hati untuknya.
Dia meninggal keesokan harinya, saat itu hari libur dan Aku tidak dinas. Dokter jaga mengirimkan kabar tentang dirinya. Aku tahu kondisinya buruk, dan apapun yang terjadi adalah takdir dan jalan yang terbaik untuknya. Hanya saja, Aku tak dapat menahan kesedihan, membuatku terisak sejadinya. Aku berangkat ke rumah sakit tapi hanya mampu berdiri di seberang jalan rumah sakit, tak punya keberanian untuk menemui orang tuanya. Aku takut tak dapat menahan diri di depan mereka, kami dokter hanya boleh berempati, bukannya bersimpati. Aku berakhir di Dunkin dengan seorang teman yang cukup tahu diri, membiarkanku menangis tanpa niat menginterupsi. 

Saat-saat seperti itu, membuat berbagai keraguan hadir, apakah pasien itu memang harus meninggal, apakah penanganannya sudah tepat, apakah usaha kami sudah maksimal, dan berbagai alasan yang akhirnya saling menyambung dan berharap logika dan pengetahuan memberikan jawaban yang setidaknya dapat mendamaikan hati. Aku yakin semua dokter pernah merasakan hal ini. Kami ini manusia dengan satu kaki berpijak di surga, dan yang lain berpijak di neraka. Profesi kami memang cukup mengerikan dan hidup kami susah. ;)

Seorang guru kami, dr. Elisna Syahruddin Sp. P (K) di suatu pagi, pernah menegur kami karena jarang memasukkan ucapan terima kasih kepada pasien-pasien dalam sebuah tesis. Bahwa mereka bukan sekedar orang sakit yang datang meminta pertolongan, tapi mereka adalah Guru terbaik bagi kami. Aku punya banyak kisah tentang betapa seorang pasien dapat mengajarkan banyak hal, dan sampai hari ini Aku tak hentinya meminta maaf pada mereka untuk segala salah yang mungkin kulakukan, bahkan maaf untuk senyum yang kadang tak sanggup kuhadirkan saat menemui mereka karena kelelahan selepas jaga.

Drama itu, mengembalikan ingatan tentang mereka, menegur rasa kemanusiaan yang mungkin terkikis oleh rutinitas. Dunia kami, sering bergerak secara mekanik hingga kami terlatih tersenyum seperti senyum palsu Pramugari. Aku sendiri berharap tak pernah lupa kalau dalam hidup ini, setiap gerak memiliki makna, agar tetap bisa memanusiakan diri dan orang lain.


*terima kasih


2012/09/22

I call them "friends"

Satu hari kadang merasa ingin memeluk semua orang dan berterima kasih. Anak kost-an yang jauh dari rumah seperti ku, selalu menjadi melankolis tiap menerima kebaikan orang. Aku bahkan ingin memeluk Bapak yang menyapu jalanan di depan rumah kost an. Heee, aneh !!

Seperti kemarin, saat hari ku agak kacau, dan kuputuskan me-refresh mood. Aku memiliki kebiasaan mengunjungi sebuah cafe di daerah Cikini, sekedar duduk dan mendengarkan sebuah band bernyanyi. Itu gambaran umumnya sih, sebenarnya Aku mengunjungi salah seorang di sana, menikmati rasa suka ku padanya yang hanya akan berlangsung semalam itu. Aku pernah ke tempat itu saat mereka tidak bernyanyi, atau band itu bernyanyi tapi tanpa dirinya, dan Aku menemukan ada sesuatu yang kurindukan. So I make conclusion that may I need him, just to be my "mood booster". Eitsss..Don't try to make any conclusion about us, might u wrong for everything in ur mind. (Aku sering menceritakan tentangnya di beberapa tulisan kemarin...). 

Nah, sulitnya adalah mencari teman yang ingin duduk bersamaku di sana, dan mengerti kegilaan ku. 

...lalu ternyata ada mereka yang mau menemaniku, dan itu menyenangkan. Mereka adalah beberapa teman yang sangat baik. Aku tak tahu apa yang melekatkan kami, kebiasaan karaoke yang hampir tiap minggu kami lakukan atau hal lain. Apapun itu, Aku selalu mensyukuri mereka mau mengulurkan tangannya dan membagi senyum untukku. Kami...berputar bersama dalam rutinitas sebagai Residen di RS, datang pagi awal, beberapa mengunjungi pasien sebelum mengikuti kuliah pagi dan menjejali kepala kami suka atau tidak dengan berbagai pengetahuan ilmiah. Ada banyak kisah tentang kami, tentang rasa yang berputar di antara tawa dan tatapan yang ada. Tapi, Aku harus menahan diri dulu untuk menceritakannya di sini, mungkin menunggu kisah itu menemukan akhirnya. ^_^
dari : Bang Hario, Yuki, Arum, dan Aku

....dan akhirnya Aku berharap mereka menikmati malam itu, sepertiku. Mungkin saja "mood booster" kami berbeda, tapi rasa senangnya Aku harap sama, atau setidaknya kami dapat saling menularkan bahagia.


*boleh di peluk kakaaaakk...^_^





"Married...??!! soon..


Pernah merasakan dirimu di penuhi cerita yang sangat ingin menumpahkan diri dalam tulisan tapi kata-kata yang kau miliki seperti tak cukup untuk menampungnya? Aku merasakannya saat ini, seperti orgasme yang penasaran sampai ke ujung kaki, membuatmu tak dapat bergerak hanya mematung dan menatap layar putih yang masih kosong kebosanan. Sepertinya puncak kerumitan adalah kekosongan, mirip ajaran Budha (terinspirasi dari Gurunya Sun Gokong)..kosong itu berisi, dan berisi itu kosong. Heeee,tambah bingung yah?


Seorang temanku menikah hari ini, beberapa akan menikah bulan depan, dan yang lain menikah tahun depan. Aku, sampai hari ini masih harus menghadapi telpon dari Mama tersayang yang tak pernah sepi dari usaha perjodohan. 
Heee, kadang ingin kesal bila semua orang bertanya "Jadi, kapan nikahnya, tuh liat...dia aja dah nikah!"...Ngooookkk, jadi maksudnya karena dia dan dia, juga dia menikah, Aku harus ikut menikah? Kalau "suami" seperti milih jeruk di pasar, cari yang kulit dan warnanya bagus, bawa pulang sekilo, kelupas dan cicipi, jika manis pasang wajah senang, jika tidak langsung di buang ke tempat sampah, mungkin Aku sudah menikah berpuluh-puluh kali, bersamaan dengan musim Jeruk. 

Ku pikir belum jodohnya mungkin, toh Aku tak punya jawaban lain. Salah siapa jika Aku belum jatuh cinta, atau jatuh cinta tapi waktunya tak tepat, atau jatuh cinta tapi orangnya tak tepat. Aku kan tak harus meraung kesetanan, menghujani Tuhan dengan air mata, menuduh ketidakadilan tanpa bukti. (hakhahaha...ni pake emosi nih nulisnya).

Aku mempercayai takdir bergerak dalam kuasa Tuhan dan pilihan manusia. Aku harus memikirkannya dengan baik, mendengarkan suara hati untuk memilih wajah siapa yang akan kulihat tiap terbangun di pagi hari nantinya, berharap bimbingan Tuhan menuntun seluruh diriku untuk memilih. Aku membutuhkan kesadaran itu agar bisa menghadapi hal terburuk yang mungkin terjadi, bukannya nanti malah terpuruk dan menyalahkan takdir, atau berputus asa dengan kedok pasrah menerima takdir tetapi dalam hati mengutuk. 

Menikah...memikirkan tanggung jawabnya saja membuat mau gila, merinding sampai menggelinding memeluk dinding. Itu bukan hanya urusan 'ngangkang' trus bunting dan punya anak. Kita berurusan dengan tanggung jawab sebagai hamba, kata teman baikku untuk "meneruskan kekhalifaan"...dengan kata lain, kita harus memiliki kapasitas untuk menanamkan nilai-nilai yang benar pada anak-anak yang akan dititipkan Tuhan. Tidak mungkin kita memilih dengan buta, langsung mengangguk pada tiap rasa yang menggedor-gedor hati. Bayangkan saja di depan Tuhan nanti, kita di lempar dengan ringannya ke dasar Neraka karena dianggap gagal menjadi orang tua. (Agak berlebihan mungkin penggambarannya). 
Lagipula, kita juga harus memiliki keikhlasan yang luas untuk mentoleransi segala hal nantinya,agar hubungan yang ada tetap terjaga dengan utuh, dan itu hanya dapat terjadi jika kita "Jatuh Cinta"...maksudku harus ada kesadaran yang tinggi untuk mencintai, biar maaf selalu hadir untuk tiap kesalahan. 

Heee, kata temanku, Aku agak berlebihan. Mungkin juga sih, tapi...Tuhan menghukumi kesadaran kita bukan? Kesalahannya bisa lebih berat jika kita berpura-pura tak memikirkannya, atau tidak mencari tahu padahal memiliki potensi untuk mengetahui. (Aku mulai rumit nih...hehehe)

Intinyaaa...untuk kita yang belum menikah, jangan terjebak pada keinginan publik. Toh hidup adalah milik kita sendiri, menjalaninya adalah pilihan kita dan yang merasakannya juga kita sendiri. Make ur right decision and through it with all happiness that u can reach.

*Mom, Aku sedang berjalan ke sana koq, don't worry too much ^_^