Dua hari ini terjebak dalam adiksi "drama korea", tidur larut dan bangun telat, hanya terinterupsi dengan shalat dan makan. Aku sama sekali tidak menyentuh bahan-bahan kuliah padahal dikejar deadline 'referat' dan jurnal. Haaaa..merasa bersalah tapi tak sanggup menolak. Hehehehe
Drama itu , "Time Slip dr. Jin" bercerita tentang seoang dokter bedah saraf yang entah mengapa tergelincir ke masa lalu.
*lupa sumbernya, silahkan di klaim
Menarik, karena dokter itu malah bertemu berbagai kasus yang membuatnya harus melakukan tindakan medis dengan peralatan purba, selain itu menemukan berbagai obat yang dalam sejarah belum ada pada masa itu. Krisis psikologi banyak terjadi dalam hal etika dokter dan pasien, apakah harus menyelamatkan pasien yang kemungkinan bertahan hidupnya kecil, atau menyelamatkan pasien yang sudah jelas akan menyebabkan kerusakan besar di masa depan. Berbagai hal dalam drama tersebut mengingatkan pada pasien-pasien yang Aku rawat di bangsal kemarin.
Satu diantaranya yang selalu membuat kesedihan tak lepas saat mengingatnya adalah seorang anak perempuan, 14 tahun, dengan diagnosis TB Milier. Aku mencoba menanganinya seperti yang seharusnya, memberikannya obat Anti Tuberkulosis, yang terpaksa harus dititrasi karena fungsi hatinya ikut terganggu. Akibatnya, kuman TB yang sudah mengalir dalam darahnya hanya tergelitik, bukannya mati karena dosis obat tidak cukup untuk membunuh mereka. Kondisinya semakin parah, sesak yang terus bertambah, disertai emfisema subkutis di bagian leher. Berdiri di samping tempat tidurnya, memegang tangannya dan tersenyum, jadi salah satu ritual yang kulakukan tiap mengunjunginya, berharap obat yang kuberikan setidaknya mengurangi penderitaannya, berharap Tuhan menolongnya, memberikan lebih banyak kekuatan pada tubuhnya untuk melawan kuman-kuman TB itu. Percaya padaku, hal yang paling menyiksa adalah melihat mereka menderita dan tak bisa melakukan apapun, saat semua usaha sudah dilakukan, dan penuh harap Tuhan menyelesaikannya dengan baik.
Aku berjanji padanya akan membelikannya makanan yang paling dia inginkan, apapun itu jika dia sembuh nanti. Biasanya dia tersenyum dan berusaha tertawa diantara semua kesakitannya, demam yang tak juga turun, sesak yang tak membaik. (menulis ini saja membuat air mata menggenang hee)
Sehari sebelum dia meninggal, Aku menemaninya dalam kamar operasi karena emfisemanya meluas sampai ke mediastinum sehingga kemungkinan menekan jantung dan mengganggu ritme jantung, menyebabkan takikardi. Awalnya, dia merengek karena ingin Ibunya masuk dan menemani, tapi saat kukatakan ada Aku yang akan menjaganya, dia akhirnya bersedia. Dia sempat bertanya padaku sebelum dilakukan mediastinostomi (operasi kecil oleh Bedah Toraks untuk mengeluarkan udara di mediastinum), apakah setelah ini dia akan membaik, mengingatkanku untuk tidak melupakan janji padanya saat dia sembuh nanti. Aku hanya mengangguk, merangkul bahunya dan berdoa dalam hati untuknya.
Dia meninggal keesokan harinya, saat itu hari libur dan Aku tidak dinas. Dokter jaga mengirimkan kabar tentang dirinya. Aku tahu kondisinya buruk, dan apapun yang terjadi adalah takdir dan jalan yang terbaik untuknya. Hanya saja, Aku tak dapat menahan kesedihan, membuatku terisak sejadinya. Aku berangkat ke rumah sakit tapi hanya mampu berdiri di seberang jalan rumah sakit, tak punya keberanian untuk menemui orang tuanya. Aku takut tak dapat menahan diri di depan mereka, kami dokter hanya boleh berempati, bukannya bersimpati. Aku berakhir di Dunkin dengan seorang teman yang cukup tahu diri, membiarkanku menangis tanpa niat menginterupsi.
Saat-saat seperti itu, membuat berbagai keraguan hadir, apakah pasien itu memang harus meninggal, apakah penanganannya sudah tepat, apakah usaha kami sudah maksimal, dan berbagai alasan yang akhirnya saling menyambung dan berharap logika dan pengetahuan memberikan jawaban yang setidaknya dapat mendamaikan hati. Aku yakin semua dokter pernah merasakan hal ini. Kami ini manusia dengan satu kaki berpijak di surga, dan yang lain berpijak di neraka. Profesi kami memang cukup mengerikan dan hidup kami susah. ;)
Seorang guru kami, dr. Elisna Syahruddin Sp. P (K) di suatu pagi, pernah menegur kami karena jarang memasukkan ucapan terima kasih kepada pasien-pasien dalam sebuah tesis. Bahwa mereka bukan sekedar orang sakit yang datang meminta pertolongan, tapi mereka adalah Guru terbaik bagi kami. Aku punya banyak kisah tentang betapa seorang pasien dapat mengajarkan banyak hal, dan sampai hari ini Aku tak hentinya meminta maaf pada mereka untuk segala salah yang mungkin kulakukan, bahkan maaf untuk senyum yang kadang tak sanggup kuhadirkan saat menemui mereka karena kelelahan selepas jaga.
Drama itu, mengembalikan ingatan tentang mereka, menegur rasa kemanusiaan yang mungkin terkikis oleh rutinitas. Dunia kami, sering bergerak secara mekanik hingga kami terlatih tersenyum seperti senyum palsu Pramugari. Aku sendiri berharap tak pernah lupa kalau dalam hidup ini, setiap gerak memiliki makna, agar tetap bisa memanusiakan diri dan orang lain.
*terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar