2011/06/01

Residu...means never ever enough for me...!!!???

Residu, seperti ampas kopi yang selalu ada...Aku mendiagnosanya.

Menengok riwayat percintaan hasil anamnesis singkatku padaku dan beberapa orang dengan latar belakang yang cukup heterogen, Aku percaya diri untuk menyimpulkannya. Semacam rupa lain adiksi terhadap seseorang, mengekor pada tiap pertemuan secara kasat ataupun nyata. Sesuatu yang mencegahmu bergeming bahkan hingga lambaiannya tak lagi terlihat, atau sesuatu yang tetap memaku jarimu pada tombol dial usai percakapan panjang dengannya. Mungkin mirip gejala rasa tidak puas di akhir miksi (the sensation of incomplete evacuation of urine from the bladder) pada pasien dengan Hipertrofi Prostat. Seolah ada rangkaian fisiologis yang tak tuntas.

Aku memilih mengartikannya gejala sisa tiap akhir bercinta. Ampas kopi yang tak pernah tak tersisa di dasar gelas. Bukan lupa menyesapnya, mungkin memang tak perlu di sesap. Selalu akan ada di sana. Haa..ku pastikan hampir sering terjadi padaku, padanya..??? Akan ku tanyakan nanti..^^

Jangan salah sangka..bercinta tidak selalu bercerita tentang penetrasi, bercinta bagiku adalah tiap bahagia, tiap suka, tiap tawa yang hadir karenanya. Ritualnya mungkin sama, diawali dengan rangkaian foreplay yang mengantarkan rasa mencapai klimaks sebelum surut teratur dalam lelap. Hanya saja, untukku...selalu ada residu bahkan setelah lelapku pergi. Atau mungkin...rasa itu tak pernah ejakulasi sempurna, hingga residu selalu tertinggal di sana. Mungkin saja...(butuh pertapaan panjang untuk menyelaminya lagi)

Akhirnya, Aku memintanya memintaku menemaninya. Ku putuskan untuk menghantuinya seharian, berharap dapat melakukan terapi diagnostik untuk kelainan yang sayangnya menyenangkan untukku. Tapi..jangan hiraukan motifku. Rasa terlalu mahir mengacaukannya. Maka kulemparkan tanggung jawab padanya, pada rasa yang menumpulkan rasio dengan telak.

Pikirku, tak akan ada residu bila ku cukupkan rasanya, waktunya, semuanya. Maka ku cukupkan bersamanya seharian ini. Hingga di akhir waktu Aku masih melahap wajahnya dengan rakus, merekam detil-detil parasnya dengan jelas. Aku tak lagi menghiraukan kewajaran, Ku pandanginya lekat dengan mata bulat. Aku selalu takut tak bisa merangkai rupanya dengan tepat sebelum tertidur, terlalu takut akan melupakannya esok pagi.

"Kamu baik-baik saja?" tegurnya tiba-tiba.
Aku tersenyum, setengah mengangguk. Waktunya berpisah. Dia menyentuh wajahku dalam pelukku, mengecupnya ringan. Ku bekukan waktu sesaat untuk selku menyesapinya lebih dalam.
Harusnya cukup untukku kali ini. Ku lepas pelukku, pandanganku. Aku tak perlu menghabiskan sosoknya dengan tetap berdiri di sana. Aku berbalik pergi, mencegah jemariku untuk tidak menekan tombol dial. Selangkah...menjauh, selangkah lagi, selangkah dan selangkah..lagi selangkah dan Aku bahkan telah merindukannya, kembali berbalik tanpa enggan, menatapnya yang tertelan pikuk bandara.
Haaaa..haaa..haaa..tawaku lepas. Aku tak berhasil untuk menyembuhkannya, residu itu tetap di sana mengubur dirinya dalam dan menertawaiku tanpa malu.

So...seems like..it never ever enough for me, but at least I found the final diagnostic, that's...
..when the feeling is felt enough, that's mean the "end" of story..

Just keep enjoy that residual time if you have it too..it will be fun. You will miss it when that's enough, believe me.^^