2011/05/21

"Terima kasih...!!"

Tak terasa waktu menua, mengantar keremangan senja ke meja kami. Ampas kopi menyisa di dasar gelas, habis tersesap. Aku pun mengakhiri cerita basi yang lebih mengheningkan di banding meriuhkan suasana.

"Terima kasih.." ku sisipkan senyum tulus di akhir huruf. Dia memandangku dengan kerutan di antara kedua alisnya.

"Kamu tahu kalau terima kasih mu mulai membosankan?"

Aku ingin tertawa melihat rautnya yang mulai kesal, setidaknya wajahnya memberikan kerut berbeda selain kerutan kebosanan yang ditampakkannya sejak kami bertemu. Aku telah menyiksanya dengan cerita yang membuatnya menguap puluhan kali, mendesah dan menggerutu diantara isapan-isapan rokoknya. Aku tak ingin mencari tahu apa yang membuatnya tak beranjak meninggalkanku. Aku hanya tahu, tidak bisa tidak menyayanginya dan berterima kasih karena tetap bertahan di sana.

"Aku tahu," Ku yakinkan dengan menambahkan anggukan.

Bibirku memang terlalu banyak memproduksi kata itu, bukan hanya hari ini, tapi kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Aku pun tak sanggup lagi mendengarnya. Hanya saja, Aku tak pernah yakin kata itu menginterpretasikan dengan tepat dirinya padanya. Dia mewakili banyak sekali rasa yang tumpah tercecer dalam diriku sejak mengenalnya.

Aku telah berpikir ribuan kali untuk mengganti kata itu. Ku pikir akan menggantinya dengan pelukan, tapi Aku tak yakin dapat menyudahi pelukan itu. Pelukanku pasti akan sangat erat dan selama umurku. Dia tak akan menyukainya. Dia harus pulang. Jadi Aku mencoret pelukan itu.

Atau Ku ganti dengan menciumnya saja, tapi pun Aku tak yakin dapat berhenti menciumnya. Bibirku akan memagut tiap sudut wajahnya, tiap raut dan kerutan yang mengisahkanku hingga umurku pun habis. Dia pasti tak akan menyukainya. Dia harus pulang. Jadi, Aku tak akan menciumnya.

Atau Ku coba menggantinya dengan sebuah genggaman. Yahh..Aku hanya akan menggenggam tangannya, tapi kembali Aku tak yakin dapat melepaskan genggaman itu. Aku akan menggenggam tangannya kuat. Menyelipkan jemariku dalam tautan yang saling mengisi. Ku biarkan jari-jari kami berbicara, mengisahkan terima kasihku untuk tiap rasa yang tak habis meski umurku usai. Dia juga tak akan menyukai ini. Dia harus pulang dan tak mungkin mengajakku. Maka Aku mengabaikannya.

“Aku pulang...” ujarnya sambil berdiri.

Aku memandangnya. Aku sangat ingin menahannya dengan pelukan, ciuman, genggaman...

"Jangan berterima kasih lagi," Aku menyengerit. Dia tertawa, dan berbalik pergi.

“Setidaknya, kata itu tetap membiarkanmu pulang,” ujarku lirih tersapu angin, mengelus punggungnya yang berlalu.

"Terima Kasih..!!"


1 komentar: