pic from here |
Satu setengah bulan ini, saya dititipkan di tetangga. Kalau biasanya hanya bergelantungan antara alveoli, sekarang saya berdiam di bilik-bilik Jantung untuk sementara waktu. Heee..singkatnya, saya lagi stase (baca: tugas) di RS Harapan Kita, pusat rujukan nasional untuk penyakit jantung. Stase luar (baca : selain RS Persahabatan) pastinya selalu menyenangkan. Suasana baru, teman baru dan kesempatan kabur selama jam sekolah. Tapi bukan itu...ada hal lain yang lebih menarik.
Kami diharuskan masuk pukul 7 pagi, yang berarti saya harus meninggalkan kost-an di Rawa Mangun sebelum pukul 6 pagi karena jarak RS Harkit sangat jauh. Saya sebenarnya menyukai udara pagi di atas metro mini, menyaksikan semua ketergesaan dari jendela, dan menjadi satu diantaranya. Jakarta menggeliat bangun dengan semua kebisingan dan riuh pagi, itu menyegarkan.
Hanya saja, untuk tiba di RS Harkit saya masih harus naik Bis 213 arah Grogol. Kalau kalian pernah naik bis itu, kalian pasti dapat membayangkan kegilaan yang saya alami. Bis itu tak pernah sepi di pagi hari, selalu penuh dalam artian semua bangku terisi, dan penumpang yang berdiri di tengahnya bisa sampai 3 baris, belum lagi yang berdesak di pintu belakang. Saya merasa seperti ikan asin yang ditumpuk dalam keranjang, atau korban human trafficking yang akan di jual keluar negeri, imigran gelap yang coba diselundupkan. Kami dipaksa berjejalan, saling menempel, bertukar aroma tubuh yang tak lagi beraroma. Lebih gilanya lagi, bahkan dengan tumpukan manusia yang melebihi kapasitas, supir bisnya tetap menyupir seolah dikejar setan, seolah dalam lintasan balap F1, seolah dia Don Toretto di Fast & Furious. Saya yakin dia menyangka kami semua ayam yang harus segera diantar ke pasar untuk di potong. Mungkin dia bermaksud baik, agar kami cepat sampai di tujuan, tapi dia lupa kalau dia pun bisa mengantarkan kami dengan cepat ke kubur.
Kalian tau, bis dan metro mini tidak pernah benar-benar berhenti saat menurunkan penumpang? Kondekturnya akan berteriak "YAHHHH, KAKI KIRIIII..KAKI KIRIII!!" Itu untuk mencegah kita jatuh, karena mereka hanya melambatkan kendaraannya. Mereka bahkan tak perduli menurunkan atau menaikkan pennumpang di tengah jalan ataupun di pinggir jalan. Kemarin, seorang teman tiba-tiba mengajak berlari mengejar Bis 213 yang hanya melambatkan lajunya di tengah jalan. Kami mencari celah di antara mobil yang melaju, seperti remaja depresi yang ingin bunuh diri dan kematiannya menjadi sensasi. Rasanya harus punya tujuh nyawa seperti kucing. Harus selincah belut, sewaspada nyamuk karena Bis 213 juga memiliki rekor "copet" dan " tukang palak". Lengkaplah kesan kota metropolitan darinya.
Saya mencoba melihatnya dari sudut yang menyenangkan. Kalau ini bukan hal yang buruk. Pengalaman yang seru, menganggapnya petualangan, cerita-cerita baru dalam perjalanan hidup. Pastinya saya beruntung mengalami semuanya, termasuk kejadian hari ini.
Saya mencoba jalur baru untuk balik ke Rawa Mangun. Karena tidak ingin mengejar bis dan kepanasan, saya memilih jalur TransJakarta dari Grogol ke Pulo Gadung, dan dari sana tinggal ganti angkutan sekali untuk ke Rawa Mangun. Sebenarnya semua terkendali sampai saat saya ketiduran dan terbangun tiba-tiba, tak berpikir panjang turun dari bis TransJakarta yang kebetulan lagi singgah di salah satu halte. Saat busnya pergi, baru tersadar telah salah turun, halte yang saya tuju ternyata masih berada di depan. Akhirnya, saya berdiri bengong di pinggir jalan yang entah di mana, berusaha mengenali petunjuk dari angkutan yang lewat. Saya mencoba naik angkutan dengan tulisan Kampung Melayu, berharap mendapatkan petunjuk dari jalur yang akan dilaluinya. Tapi sampai setengah jalan, saya yakin tidak mengenali apapun dan memutuskan untuk turun mencari taksi. Niat menghemat, malah jadi bankrut. Apes...!!
Ini bukan pertama kali saya kehilangan arah. Terdampar di daerah antah berantah hanya karena tertidur, salah naik angkot, lupa harus ke kiri atau ke kanan. Saya buruk dalam hal mengenali arah. Tapi semuanya terasa menggelikan sejauh ini, saya cukup menikmati dan cukup terhibur. Bukankah, kita harus tersesat dulu agar tahu jalan yang benar? Heeeehe
Bareng Mba Astri (lg stase Anak RSCM) dan Mba Nila (yg ngambil foto), nunggu di Poke Sushi sebelum nonton The Great Gatsby @Blitz GI |
Saya masih akan sebulan lagi di RS Harapan Kita. Bukan hanya belajar tentang Jantung, saya belajar mengenai arah, mencari jalan, mengunjungi tempat baru. Bahkan lebih dalam lagi, saya belajar tentang hidup dari mereka yang beriringan ataupun beririsan setiap harinya.
In this town, we always rush...and seems always late too. You can see from the face of people in a road, include...me. :))
*...lagi merindukan rumah :(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar