11hari pertama tahun ini,
Awal tahun, dan Aku sedikit gila dengan sisa-sisa tahun kemarin, belum lagi tugas baru yang berjatuhan...menimpuk...menohok dengan keras. Arggghhhh...
Beberapa hari ini, Aku dan temanku melakukan sedikit refleksi...mengapa kami menjadi dokter??
Ini pertanyaan yang telah kuajukan saat tahun pertama Coass, ketika sistem mulai menunjukkan taringnya dan menertawakan kegalauan kami. Ini kegelisahan lama yang kami maklumi untuk kesering kalinya, hingga dia mengendap, dan kami pun menyelesaikan Coass, di panggil Dokter, punya ijin praktek dan kartu keanggotaan IDI.
Membuka warung dengan Papan Praktek di depan rumah untuk beberapa saat, dan tuntutan sistem kemudian menggiring kami untuk sekolah lagi.
Aku...salah satu makhluk yang tergiring dan kini menjalani wajib militer sebagai Residen Paru. Heee
Sebenarnya, kagalauan itu di picu oleh tumpukan kemalangan yang akhir-akhir ini kami derita. Beberapa temanku bahkan berdebat memperebutkan siapa yang lebih malang, apakah dia yang selalu mendapat jaga (baca : semacam piket untuk menjaga bangsal-bangsal di rumah sakit selama kurang lebih 12 jam) di Bangsal Infeksi yang pasiennya paling banyak dan mortalitasnya lebih tinggi, atau dia yang selalu mendapat jaga akhir pekan dan tidak sempat untuk liburan.
Kami juga mengeluhkan ketidakjelasan nasib Ujian Faal yang tak juga selesai, sehingga kami bergentayangan di perpustakaan sepanjang hari, menanti panggilan ujian yang tak jelas waktunya. Tak ujian berarti penundaan stase selanjutnya, yang berarti menambah waktu wajib militer..Hikss.
Di tengah ketidakjelasan nasib itu, kami pun di hujani dengan cerita-cerita horor tentang Stase kami selanjutnya.."Stase Ruangan" (baca : Stase saat kami mulai menangani pasien secara langsung dan personal ). Kami memasuki arena pembantaian massal, berdiri di depan semua penghuni barak, menunggu berondongan peluru dari para Jenderal untuk tiap kesalahan dari presentasi kasus, laporan kematian, ataupun presentasi jurnal kami.
Haaa..membayangkannya saja, cukup menyiutkan nyali untuk terbangun esok hari dan menyadari...kami masih di tempat ini.
Aku dan temanku sangat iri pada pemain musik, ataupun penyiar TV, wartawan atau siapa saja yang kami anggap sukses tanpa harus bersusah-susah menjalani wajib militer seperti kami..toh akhirnya tetap sama, jadi "orang sukses".
...dan mengapa Kami tetap menjadi Dokter?? Untuk menjadi sukses, punya banyak uang...atau alasan klise.."untuk menolong sesama?"
Kami tak tahu..atau Aku sendiri tak pernah tahu. Ini adalah hasil dari pilihan-pilihan hidup yang tak dapat lagi kutemukan alasannya, hanya membiarkannya mengalir, menyingkirkan kerikir yang menghalang, bangun tiap kali terjatuh, menggedor pintu lain jika lainnya tertutup..dan tanpa terasa kami pun di sini.
Apapun badainya di malam hari, pagi akan tetap datang. Sistem yang kami masuki pada akhirnya akan mengantarkan kami di akhir, dan menitipkan tawa dalam tangis haru untuk keberhasilan kami tetap hidup saat itu.
Jangan salah paham, kami bukannya menyesali jalan hidup. Ini hanya semacam cara untuk menertawai hidup, kami yang menyadari keberanian untuk memilih ini meskipun sangat sadar akan kemampuan kami untuk pergi. Pada akhirnya, bagi ku..bagi kami..hanya berusaha untuk terus bertanggung jawab atas pilihan Profesi ini, sesekali menangisi kegilaan dan menertawai kegalauan kami.
Dunia kami sangat luar biasa, akan sangat sulit untuk menggambarkan dinamika kemanusiaan yang berputar di dalamnya. Kami hanya alat yang menggenapkan takdir terpenuhi.
Kami belajar dari hidup dan mengembalikan pengetahuan pada hidup.
(Doakan kami...^_^)
NB : Nina Aboet...dan yang lain..semangaaaattt!!!
Awal tahun, dan Aku sedikit gila dengan sisa-sisa tahun kemarin, belum lagi tugas baru yang berjatuhan...menimpuk...menohok dengan keras. Arggghhhh...
Beberapa hari ini, Aku dan temanku melakukan sedikit refleksi...mengapa kami menjadi dokter??
Ini pertanyaan yang telah kuajukan saat tahun pertama Coass, ketika sistem mulai menunjukkan taringnya dan menertawakan kegalauan kami. Ini kegelisahan lama yang kami maklumi untuk kesering kalinya, hingga dia mengendap, dan kami pun menyelesaikan Coass, di panggil Dokter, punya ijin praktek dan kartu keanggotaan IDI.
Membuka warung dengan Papan Praktek di depan rumah untuk beberapa saat, dan tuntutan sistem kemudian menggiring kami untuk sekolah lagi.
Aku...salah satu makhluk yang tergiring dan kini menjalani wajib militer sebagai Residen Paru. Heee
Sebenarnya, kagalauan itu di picu oleh tumpukan kemalangan yang akhir-akhir ini kami derita. Beberapa temanku bahkan berdebat memperebutkan siapa yang lebih malang, apakah dia yang selalu mendapat jaga (baca : semacam piket untuk menjaga bangsal-bangsal di rumah sakit selama kurang lebih 12 jam) di Bangsal Infeksi yang pasiennya paling banyak dan mortalitasnya lebih tinggi, atau dia yang selalu mendapat jaga akhir pekan dan tidak sempat untuk liburan.
Kami juga mengeluhkan ketidakjelasan nasib Ujian Faal yang tak juga selesai, sehingga kami bergentayangan di perpustakaan sepanjang hari, menanti panggilan ujian yang tak jelas waktunya. Tak ujian berarti penundaan stase selanjutnya, yang berarti menambah waktu wajib militer..Hikss.
Di tengah ketidakjelasan nasib itu, kami pun di hujani dengan cerita-cerita horor tentang Stase kami selanjutnya.."Stase Ruangan" (baca : Stase saat kami mulai menangani pasien secara langsung dan personal ). Kami memasuki arena pembantaian massal, berdiri di depan semua penghuni barak, menunggu berondongan peluru dari para Jenderal untuk tiap kesalahan dari presentasi kasus, laporan kematian, ataupun presentasi jurnal kami.
Haaa..membayangkannya saja, cukup menyiutkan nyali untuk terbangun esok hari dan menyadari...kami masih di tempat ini.
Aku dan temanku sangat iri pada pemain musik, ataupun penyiar TV, wartawan atau siapa saja yang kami anggap sukses tanpa harus bersusah-susah menjalani wajib militer seperti kami..toh akhirnya tetap sama, jadi "orang sukses".
...dan mengapa Kami tetap menjadi Dokter?? Untuk menjadi sukses, punya banyak uang...atau alasan klise.."untuk menolong sesama?"
Kami tak tahu..atau Aku sendiri tak pernah tahu. Ini adalah hasil dari pilihan-pilihan hidup yang tak dapat lagi kutemukan alasannya, hanya membiarkannya mengalir, menyingkirkan kerikir yang menghalang, bangun tiap kali terjatuh, menggedor pintu lain jika lainnya tertutup..dan tanpa terasa kami pun di sini.
Apapun badainya di malam hari, pagi akan tetap datang. Sistem yang kami masuki pada akhirnya akan mengantarkan kami di akhir, dan menitipkan tawa dalam tangis haru untuk keberhasilan kami tetap hidup saat itu.
Jangan salah paham, kami bukannya menyesali jalan hidup. Ini hanya semacam cara untuk menertawai hidup, kami yang menyadari keberanian untuk memilih ini meskipun sangat sadar akan kemampuan kami untuk pergi. Pada akhirnya, bagi ku..bagi kami..hanya berusaha untuk terus bertanggung jawab atas pilihan Profesi ini, sesekali menangisi kegilaan dan menertawai kegalauan kami.
Dunia kami sangat luar biasa, akan sangat sulit untuk menggambarkan dinamika kemanusiaan yang berputar di dalamnya. Kami hanya alat yang menggenapkan takdir terpenuhi.
Kami belajar dari hidup dan mengembalikan pengetahuan pada hidup.
(Doakan kami...^_^)
NB : Nina Aboet...dan yang lain..semangaaaattt!!!
"...Ini adalah hasil dari pilihan-pilihan hidup yang tak dapat lagi kutemukan alasannya, hanya membiarkannya mengalir, menyingkirkan kerikir yang menghalang, bangun tiap kali terjatuh, menggedor pintu lain jika lainnya tertutup..dan tanpa terasa kami pun di sini.
BalasHapusApapun badainya di malam hari, pagi akan tetap datang. Sistem yang kami masuki pada akhirnya akan mengantarkan kami di akhir, dan menitipkan tawa dalam tangis haru untuk keberhasilan kami tetap hidup saat itu."
Suka banget dengan kiasan2 kakak di atas...
let it flow lah yah..
*acung jempol*
hehehehehe....berenang ngikutin arus lebih mudah ^_^
BalasHapus